Mitigasi Setelah Tambang Habis

BERITA PERISTIWA - Transisi

 Energi menjadi salah satu isu

 strategis yang hangat

dibicarakan, terutama di tengah

supaya global mengurangi 

ketergantungan pada energi fosil. 

Lewat kerja sama antara Serikat

 Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Pusat dengan organisasi sosial dari Australia, didapati langkah konkret kekhawatiran buruh terkait masa depan mereka.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Provinsi Sumsel, Anang 

Abdullah, menjelaskan transisi energi bukan hanya tentang perubahan teknologi, juga soal 

keadilan bagi para pekerja tambang yang menjadi garda terdepan dalam industri. “Energi 

atau tambang sebagaimana kita tahu, suatu saat akan habis. Pertanyaannya, jika tambang 

habis, ke mana para pekerja tambang akan pergi? Ini masalah besar yang harus kita pikirkan, 

baik oleh buruh itu sendiri maupun pemerintah,” ujarnya.

Sebagai langkah awal, SPSI Pusat telah mengalokasikan anggaran kerjasama dengan Australia untuk mensosialisasikan konsep transisi energi berkeadilan. Saat ini ada 2 daerah yang dibantu mensosialisasikan hal tersebut, yakni Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur. Di Sumsel, program ini akan dilaksanakan 10 kali pertemuan, dengan rincian 7 kali di Kota Prabumulih dan 3 kali di Kota Palembang.

Menurut Abdullah, sosialisasi ini tak hanya memberikan informasi, juga pelatihan kepada buruh tambang agar mereka lebih memahami pentingnya berserikat. “Kami ingin para buruh paham cara mengurus diri mereka sendiri saat transisi terjadi. Kami mengimbau pemerintah, khususnya Pemda lebih peduli. Sosialisasi ini salah satu cara mengetuk perhatian pemerintah,” jelasnya.

Program ini menargetkan wilayah-wilayah tambang di Sumsel, seperti Muara Enim, PALI, Muratara, Lahat, dan Musi Banyuasin. Harapannya, Pemda dapat mulai merancang langkah-langkah konkret menghadapi situasi di mana tambang-tambang tersebut sudah tidak lagi beroperasi. “Jangan sampai ketika tambang habis, buruh tidak tahu harus ke mana. Ini adalah tanggung jawab kita bersama,” tegas Anang.

Salah satu hambatan terbesar melaksanakan program ini adalah kurangnya data akurat mengenai jumlah buruh tambang, baik yang legal maupun ilegal. Abdullah mengungkapkan, hingga saat ini belum ada catatan pasti terkait jumlah buruh tambang di Sumsel. “Seperti di Tanjung Enim misalnya. Di sana hanya ada serikat internal, sehingga sulit bagi kami untuk masuk. Paling yang bisa menjadi sasaran adalah subkontraktor atau penambang swasta,” ujarnya.

Ia juga menyoroti fenomena penambang ilegal yang banyak dikuasai kepala desa atau LSM. “Seringkali jika seseorang ingin bekerja di tambang, mereka harus melalui kepala desa atau LSM setempat. Ini buat kami sedih, karena buruh jadi tak berdaya,” ungkapnya.

Kerja sama internasional dengan organisasi sosial dari Australia diharapkan dapat membawa dampak positif bagi buruh tambang di Indonesia. Selain memberikan pemahaman pentingnya berserikat, proyek ini juga akan menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, terkait langkah-langkah strategis yang perlu diambil.

“Kita ingin mengetuk hati Pemda, terutama di wilayah tambang seperti Muara Enim, PALI, Muratara, Lahat, dan Musi Banyuasin, agar mereka mulai memikirkan masa depan buruh. Jangan sampai transisi energi meninggalkan mereka tanpa arah dan penghidupan,” tambahnya.

Selain itu, melalui proyek ini, diharapkan tercipta transparansi lebih baik dalam industri tambang. “Saat ini masih banyak penambang nakal. Dengan adanya sosialisasi ini, kami berharap para penambang, baik legal maupun ilegal, dapat lebih terbuka dan memahami pentingnya aturan,” jelasnya.